Huduri Tanpa Batas, Benarkah?



Nurul Asia & Andi Nargis
Benarkah pengetahuan huduri itu tak pernah keliru? Lalu bagaimana dengan perasaanku terhadap sesuatu? Yang hari ini sangat aku inginkan, mungkin saja sangat aku benci esok hari. Begitupun sebaliknya, yang sangat aku benci hari ini mungkin saja sangat aku inginkan di kemudian hari. Lalu muncullah kalimat “benci dan cintailah sesuatu sekedarnya saja”. Dalam kenyataan seperti ini, dimanakah letak pengetahuan huduri yang katanya tidak pernah keliru? Bagaimana denga rasa cintaku kepada Tuhanku? Apakah juga suatu saat akan memudar dan tergantikan oleh cinta yang lain? Jika demikian, maka layakkah Dia kusebut Tuhan? Jika tidak demikian, apa yang membedakan antara perasaan cintaku terhadap Tuhan dan kepada selain-Nya? Bukankah keduanya adalah pengetahuan yang huduri di dalam diriku? 

Bagaimana pula dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain yang kudapatkan? Pahamanku terhadap buku yang kubaca, apakah dia husuli atau huduri di dalam  diriku? Jika dia husuli, mengapa tak dapat kupahami hanya dengan menerapkan aturan-aturan berpikir yang ada? Pahaman itu hadir justru saat kita berusaha fokus atau konsentrasi. Bukankah itu adalah merupakan ciri dari pengetahuan huduri? Lalu dimanakah sebenarnya batas pengetahuan huduri itu?

Aku teringat kalimat yang diungkapkan oleh seorang guru: “ kebenaran itu sumbernya dari dalam, sedangkan kesalahan itu datangnya dari luar”. Yang di dalam itu disebut pengetahuan huduri, sedangkan yang dari luar itu disebut pengetahuan husuli. Berbicara tentang pengetahuan huduri, tentulah tidak terpisah dari pembahasan fitrah yang merupakan potensialitas kebenaran yang ada dalam diri kita. Potensi yang menuntut untuk dipenuhi, karena jika tidak, maka kita takkan pernah mendapatkan yang namanya kebahagiaan. Pemuasan secara sempurna atas kecenderungan fitri manusia hanya akan terealisasi jika manusia mampu dengan SADAR menjalin suatu hubungan dengan wujud itu sendiri. Argumen rasionalnya jelas bahwa semua eksistensi mempunyai keterikatan dengan penciptanya.

Pengetahuan huduri manusia tentang ke-DIRI-annya tak lain adalah keterikatan itu sendiri. Dengan kata lain, ia dapat sampai pada kondisi pengenalan dan penyaksian terhadap ikatan eksistensial secara jelas dan sempurna dengan penciptanya. Maka dapat disimpulkan bahwa tingkat huduri tertinggi adalah PENYAKSIAN. Adapun mengenai perasaan yang menurut kita berubah-ubah, itu tidaklah demikian. Yang berubah itu adalah objek diluarnya, sedangkan rasa yang ada di dalam diri, tak pernah berubah. Maka tak ada keraguan lagi bahwa pengetahuan huduri itu memang terbebas dari yang namanya kekeliruan, hingga saat kita mengusulinya diluar.

Kesimpulannya adalah bahwa pengetahuan huduri itu tidak terbatasi oleh pengetahuan-pengetahuan yang lain. Baik pengalaman inderawi kita, maupun pengetahuan rasional kita, semuanya tidak dapat dilepaskan secara totalitas dari huduri itu sendiri. Namun jika kita berbicara tentang diri, jelas bahwa huduri itu memiliki tujuan akhir yang ingin diraih, yaitu sampainya kita pada KESEMPURNAAN diri, Insya Allah.

Wallahu A’lam bi Sawwab
Sholawat kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Wujud Substantif dan Kopulatif

MASJID JERRAE SEBAGAI SALAH SATU MASJID TERTUA DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

SEKSUALITAS DALAM MAZHAB REALIS