Metode Argumentasi

Metode Argumentasi Awal dari argumentasi adalah kata. Kata-kata dapat membentuk pernyataan, pertanyaan, perintah atau permintaan. Namun, yang mempunyai nilai benar salah hanya pernyataan (proposisi) saja. Setiap pernyataan hanya memiliki satu nilai dalam satu kesempatan. Artinya, benar dan salah tidak bisa secara sekaligus menjadi nilai sebuah pernyataan. Dalam ilmu pengetahuan, pernyataan ini biasa disebut denga teori. Karenanya, perdebatan dalam lapangan ilmu hakikatnya merupakan perdebatan apakah pernyataan itu memiliki nilai benar atau salah. Perdebatan ini bermula sejak era Plato, Ariestoteles, Al-kindi, Bacon, Pierce, Russel, Whitehead, hingga kini. Kriteria dalam menentukan suatu pernyataan, apakah ia benar atau salah ada tiga: 1. Teori Koheresi Menurut teori koherensi, pernyataan akan dianggap benar jika pernyataan tersebut bersifat koheren (bertalian secara logis) atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Teori ini dikembangkan oleh para filosof Yunani, Plato dan Aristoteles, juga Euclides. Ini adalah cara pikir deduktif. 2. Teori Korespondensi Dalam pandangan teori korespondensi, nilai kebenaran pernyataan dilihat dari materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut apakah berkorespondensi dengan objek yang dituju atau tidak. Cara pikir macam ini dikenal sebagai cara pikir induktif. 3. Teori Pragmatis Menurut teori ini, nilai benar atau salah akan ditemukan dalam konsekuensinya dalam tindakan. Jadi, pernyataan akan benar jika pernyataan itu punya guna praktis dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, sebuah pernyataan yang dulu bernilai benar, suatu waktu, ketika ia sudah tak lagi fungsional akan dianggap sebagai pernyataan yang salah. Pernyataan-pernyataan yang telah tersusun rapi, nantinya akan menjadi argumentasi. Namun demikian, argumentasi tidaklah memiliki nilai kebenaran yang pasti tapi hanya valid dan invalid. Ada banyak ragam kesalahan ketika seseorang mengungkapkan argumen-argumennya buat mendukung pernyataan yang ia yakini benar. 1. Generalisasi yang tergesa-gesa (fallacy of dramatic instance) Banyak orang sering melakukan hal ini. Ia hanya mengambil satu dua kasus yang sesuai, kemudian mengambil kesimpulan. Biasanya, satu dua kasus tersebut merupakan pengalaman pribadinya. Kesimpulan yang hanya berdasarkan pada satu dua kasus ini kerap disebut sebagai over generalization. 2. Menganggap sebagai keniscayaan sejarah (fallacy of retrospective determinism) Modus berargumen semacam ini, selalu mengacu kembali ke belakang, meyakini adanya sesuatu yang telah ditentukan dalam sejarah masa lalu dan tidak akan pernah hilang sepanjang masa. 3. Salah dalam mencari hubungan sebab akibat (post hoc ergo propter hoc atau non causa pro causa) Menurut teori ini, tiap peristiwa atau kejadian hampir dipastikan merupakan peristiwa yang bersyarat. Maksudnya, peristiwa itu tidak bisa berdiri sendiri sebagai satu peristiwa, tetapi peristiwa itu selalu butuh peristiwa-peristiwa lainya sehingga peristiwa tersebut dapat terjadi. Acapakali, peristiwa tersebut terjadi secara beruntun, sambung-menyambung jadi satu. Tapi, tidak menutup kemungkinan peristiwa tersebut terjadi dalam jeda waktu yang tidak berurutan, sehingga ia diselingi oleh peristiwa-peristiwa lainnya dulu yang tidak memiliki kaitan dengan peristiwa tersebut. Orang harus jeli dan teliti ketika membangun argumen terkait dengan peristiwa-peristiwa itu. Banyak orang terjebak. Argumen yang sering dibangun berdasarkan urutan jeda peristiwa ini biasanya menyatakan bahwa peristiwa pertama merupakan sebab dari peristiwa kedua. 4. Berargumen dengan menggunakan otoritas yang tak relevan (argumentum ad auctoritatis) Kewibawaan, pengaruh, atau semacam kharisma memang kadang menyilaukan. Perkara-perkara ini acapkali mengganggu dalam penalaran kita. Banyak yang langsung begitu saja menerima sebuah gagasan atau argumen hanya berdasar pada wibawa atau kharisma. 5. Berargumen dengan menyerang pribadi orang yang beragumen (argumentum ad auctoritatis) Dalam argumentasi yang demikian, persoalan yang diteliti justru tidak lagi menjadi perhatian. Argumen-argumen yang hendak dibangun justru diarahkan untuk menyerang pribadi lawan bicara. Lazimnya, orang mengenal ini sebagai personal attack. 6. Membangun argumen untuk membangkitkan rasa belas kasih (Argumentum ad misericordiam) Dalam argumen yang demikian, lawan bicara berusaha digiring untuk memiliki rasa kasihan terhadap kita sehingga tujuan atau keinginan kita bisa tercapai. Kesalahan berpikir lainnya adalah, ingin menerapkan sesuatu yang telah berhasil di suatu daerah/orang kepada daerah-daerah lain (fallacy of composition). Ada juga penalaran yang melingkar-lingkar (circular reasoning), menggunakan kesimpulan untuk premis sehingga menuju pada kesimpulan semula. Selain itu, ada pula argumen yang diajukan berupa ancaman agar menerima suatu pernyataan dengan alasan jika menolak akan berdampak buruk padanya (argumentum ad baculum). Ada juga yang berkesimpulan bahwa sesuatu itu tak ada sebab kita tidak mengetahui sesuatupun tentang hal itu (argumentum ad ignorantiam). Masih ada analogi palsu, mencoba membandingkan satu idea dengan idea lain yang sesungguhnya tak ada hubungannya sama sekali dengan idea yang hendak dibandingkan. Ada lagi pemikiran simplistis, membangun argumen dengan terlalu menyederhanakan persoalan, misalnya disederhanakan menjadi oposisi biner saja, hitam-putih, ini atau itu. Logika tak semata milik peradaban Barat. Logika yang kita pahami umumnya merupakan logika Aristotelian. Hanya ada bivalensi, hitam atau putih, nol atau satu, benar atau salah, A atau bukan A. Menurut Sardar dalam bukunya “Thomas Kuhn dan Perang ilmu”, dalam Hinduisme, logika bisa berlipat empat atau bahkan tujuh. Misalnya X bukan A dan bukan bukan A; bukan pula sekaligus A dan bukan A; bukan pula bukan A dan bukan bukan A. Dalam logika Aristotelian, tak ada tempat buat semu atau abu-abu, perbauran di antara hitam dan putih. Ada logika samar (fuzzy logic) yang berusaha mengakomodasi perbauran ini. Di antara putih sampai hitam ada sekian banyak kemungkinan gradasi warna. Demikian pula membentang banyak sekali bilangan dari nol sampai dengan satu. Logika samar secara mudah dapat dipahami seperti kita memahami bahwa ada “orang baik tetapi ada cacatnya” dan “ada orang jahat tapi punya segi yang baik”. Senantiasa ada spektrum yang membentang di anatara dua kutub nilai tersebut. Bagaimana dengan logika Islam? Sejauh ini saya memahami, hanya ada satu perkara saja, KEBENARAN. Kepustakaan: Hermanto, Arief. 1994. Filsafat dan Didaktik Fisika. Diktat pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Rakhmat, Jalauddin. 2000. Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar?. Cet. ke-2. Bandung. Remaja Rosdakarya. Sastradipoera, Komaruddin. 2007. Sejarah Pemikiran Ekonomi, suatu pengantar teori dan kebijaksanaan ekonomi. Edisi 2. Bandung. Penerbit Kappa-Sigma Sardar, Ziauddin. 2002. Thomas Khun dan Perang ilmu. Cet 1. Yogyakarta. Penerbit Jendela Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat ilmu, sebuah pengantar populer. Cet k3-18. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan http://rachmadresmi.staff.uad.ac.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Wujud Substantif dan Kopulatif

MASJID JERRAE SEBAGAI SALAH SATU MASJID TERTUA DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

SEKSUALITAS DALAM MAZHAB REALIS