SIDENRENG RAPPANG KU: Mengenang Nene’ Mallomo di Ulang Tahun Kabupaten Sidrap yang Ke-672 Tahun

Dalam lontara’ bugis, seorang pemimpin dituntut memiliki 4 hal dalam dirinya, yaitu: Maccai na malempu; Waraniwi na magetteng (Cendekia yang jujur; Berani lagi teguh dalam pendirian).

Ungkapan ini bermakna bahwa syarat pertama menjadi seorang pemimpin adalah kecerdasan, agar dia tidak membawa rakyatnya pada kegagalan, akibat dari kebodohannya. Namun kecerdasan tanpa kejujuran itu tidak berarti apa-apa, bahkan dapat merugikan orang banyak. Telah banyak kita saksikan di depan mata kita bagaimana orang-orang cerdas telah membodohi orang-orang disekitarnya. Oleh karena itu, seorang pemimpin selain harus cerdas, juga harus memiliki kejujuran yang tinggi. Syarat selanjutnya adalah keberanian, karena percuma orang yang memiliki kecerdasan dan kejujuran tanpa adanya keberanian. Keberanian adalah dasar dari tindakan kita, namun keberanian saja belum cukup tanpa disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Maka penyempurna dari ketiga syarat sebelumnya adalah keteguhan dalam pendirian. Orang yang teguh dalam pendirian tidak akan mudah di hasut atau diancam. Maka dia akan tetap menegakkan kebenaran, apapun halangan dan tantangannya.

Salah seorang pemimpin bugis yang dalam Sejarah Sidenreng Rappang Abad XVI, yang dikenal memiliki empat kualitas pribadi tersebut adalah La Pagala atau yang kita kenal dengan julukan “Nene' Malomo”, seorang hakim (pabbicara) dan murid dari La Taddampare.

Suatu hari nene mallomo kedatangan  tamu yang sangat terhormat yaitu Arung Matoa Wajo. beliau ini bertanya kepada nene’ mallomo ; “aga muala apettu bicara ri sidenreng, nasalewangeng ana’banuammu, na’bija olok-kolo’mu, namoni ase wette muamporeng jajito”. Artinya, apakah yang diputuskan di Sidenreng Rappang ini sehingga rakyatmu sejahtera, ternakmu berkembang biak dan benih padimu yang jelek yang kau sebarkan juga tumbuh baik.

Jawaban nene mallomo: “iyana uala appettuang bicara ri sidenreng iya naritu alempureng sibawa deceng kapangnge” .  Artinya, yang saya ambil keputusan di Sidenreng Rappang adalah kejujuran dan prasangka baik kepada semua orang.

Beberapa tahun kemudian setelah kedatangan tamu terhormat tersebut, rakyat menjadi resah, ternak-ternak pada  mati, padi sawah pada rusak seluruhnya. Nene’ mallomo bertafakkur dan mengambil kesimpulan bahwa siksaan dari dewata sewae (Tuhan) tersebut pasti ada sebabnya. atas dasar ini nene’ mallomo memerintahkan untuk diadakan penelitian yang jujur dan tidak memihak.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah anak dari nene’ mallomo yang juga seorang petani yang mengalami kesulitan sewaktu membajak sawahnya. Bajak rusak sehingga tanpa pikir panjang dia mengambil kayu yang telah dipotong dan disandarkan kepohon yang lain. Sebelum peneliti sampai ke rumah nene’ mallomo, anak nene’ mallomo tersebut berlari ke rumah ayahnya untuk mengadukan kesalahannya, kemudian nene’ mallomo memanggil rapat para pabbicara (pemangku adat) dan menguraikan persoalan yang timbul dan penyebabnya. Kesimpulan dari nene’ mallomo adalah karena anaknya telah mengambil kayu orang lain tanpa persetujuan pemiliknya maka harus dihukum mati.

Seorang bertanya kepada nene’ mallomo: “Bukankah pelaku kejahatan yang berlari ke rumah hakim dan mengakui kesalahannya, akan diberikan pengampunan dan dibebaskan dari kesalahannya?

Nene’ malloomo menjawab: “Saat dia masuk ke dalam rumahku, dia tidak memanggil hakim, tapi ayah, itu artinya bahwa dia datang sebagai seorang anak kepada ayahnya, bukan rakyat kepada pemimpinnya.
Lalu tetua adat kembali bertanya: “Sampai hatikah kau membandingkan nyawa anakmu dengan sepotong kayu?

Nene’ mallomo kembali menjawab: “iya ade’ temmake ana’ temmakke appo”, artinya hukum itu tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu.

Pidana mati itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan harga dirinya sebagai hakim yang jujur di tengah-tengah masyarakatnya. Sekiranya ia memberikan pengampunan kepada putranya sendiri, tentulah ia akan menanggung malu yang sangat dalam karena akan dicibir oleh masyarakat sekitarnya, dan wibawanya sebagai hakim yang jujur akan hilang seketika.

Bagi masyarakat Bugis, falsafah "taro ada taro gau" (satunya kata dengan perbuatan) adalah suatu keharusan. Manusia yang tidak bisa menyerasikan antara perkataan dan perbuatannya akan mendapat gelar sebagai manusia "munafik" (munape), suatu gelar yang sangat dihindari oleh manusia Bugis.

Salah satu petuah dari Nene'Mallomo mengatakan bahwa orang Sidrap harus mempunyai sifat Macca (pintar), Malempu (jujur), Magetteng (konsisten), Warani (berani), Mapato (rajin), Temmapasilengang (adil) serta sifat Deceng Kapang (menghormati orang lain).

Nene'Mallomo juga merupakan penggagas falsafah hidup masyarakat Bugis Sidrap, yang terkenal dengan 5 (lima) M, yaitu : Massappa (mencari rezeki yang halal), Mabbola (membangun rumah dari rezeki yang halal), Mappabotting (mempererat silaturrahmi dengan ikatan pernikahan), Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji) dan Mattaro Sengareng (merendahkan diri dan keikhlasan).

Salah satu pappaseng (pesan) Nene'Mallomo bagi aparat kerajaan adalah : Tellu tau kupaseng : Arung Mangkaue', Pabbicarae', Suroe'. Aja pura mucapa'i lempue' o Arung Mangkau'. Malempuko mumadeceng bicara, mumagetteng, apak i ariasennge' malempu, madeceng bicarae' lamperi sunge'. Apak teammate lempue', temmaruttung lappae', teppettu maompennge', teppolo masselomoe'. Artinya, "Aku berpesan kepada tiga golongan : Maharaja, pabbicara dan pesuruh, jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu, wahai pemimpin. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas, sebab kejujuran dan tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur.

Oleh karena kearifan serta kebijaksanaannya, Nene' Mallomo kemudian menjadi ikon Kabupaten Sidenreng Rappang dan sering disebut sebagai "Bumi Nene'Mallomo". Kabupaten Sidrap dalam lingkup Propinsi Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah lumbung beras. Keberhasilan panen padi di Sidrap adalah buah ketegasan Nene Mallomo' dalam menjalankan hukum dan adat, dalam budaya masyarakat setempat dikenal Tudang Sipulung (Musyawarah besar) masalah pertanian yang dihadiri pemuka adat dan tokoh masyarakat. Sampai saat ini tradisi ini masih hidup dan dilaksanakan setiap tahun.

Demikianlah nostalgia kabupaten Sidrap di masa lalu, yang membuat kita akan bangga bercerita kepada siapapun tentang hal tersebut. Namun jika harus jujur, apakah yang terjadi saat ini? Lumbung padi berubah menjadi lumbung narkoba. Kejujuran dan keadilan diganti dengan penghianatan, penindasan, pemaksaan, dan pembodohan. Ketinggian harga diri diganti dengan tak punya rasa malu. Kearifan lokal kita tergantikan oleh kebobrokan akhlak. Lalu siapakah yang harus disalahkan?

Tugas generasi muda Sidenreng Rappang sangatlah berat, kita harus mengembalikan kearifan lokal kita dan kembali pada prinsip keadilan Nene’ Mallomo.

Resopa Temmangingi Namalomo Nalettei Pammase Dewata
(Hanya dengan ketekunanlah, sehingga kita bisa mendapatkan berkah dari Tuhan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Wujud Substantif dan Kopulatif

MASJID JERRAE SEBAGAI SALAH SATU MASJID TERTUA DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

SEKSUALITAS DALAM MAZHAB REALIS