Filosof Muslim: Ibnu Sina



IBNU SINA
A.      Biografi dan Karya-karyanya
Salah satu filosof yang terkenal dalam islam adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibnu Sina, atau yang kerap disapa Ibnu Sina. Beliau dilahirkan pada bulan Shafar tahun 270 H ( Agustus 980 M) di Afshana, suatu wilayah yang berada di dekat Bukhara. Ia dibesarkan disana dan belajar falsafah kedokteran serta ilmu-ilmu agama islam. Ketika berusia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan berhasil menghafal Al-Qur’an. Dari Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Eucliddan Al-Magest Ptolemus.
Selain menguasai konsep metafisika Aristoteles, ia juga mendalami filsafat Al-farabi. Hal tersebut beliau lakukan sebagai wujud ikhtiarnya untuk mencari kebenaran, karena semua persoalan yang ia temui selalu mendapatkan penjelasan dan jawaban yang sangat berarti.
Mengenai ilmu kedokteran, ia banyak belajar kepada Isa bin Yahya. Meskipun ia belum matang secara teori, tetapi ia banyak melakukan keberhasilan dalam mengobati orang-orang sakit. Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku-buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk. Ia banyak menemukan pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang Beliau alami, melalui mimpi-mimpi yang dia alami ketika tertidur. Ketika berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibnu Mansur. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat akses untuk mengunjungi perpustakaan istana yang terlengkap yaitu Kutub Khana.
Ibnu Sina adalah orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia juga adalah orang yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya. Dia yang mula-mula mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa yang kini disebut psikoterapi .
Karya-karya Ibnu sina sering kali ditemui dengan menggunakan bahasa Arab dan Persia. Adapun karyanya yang terkenal dalam bidang filsafat adalah As-Shifa yang merupakan ensiklopedi yang monumental. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam, An-Najat yang merupakan ikhtisar dari kitab As-Shifa, dan Al-Isyarat yang merupakan ilmu tasawuf. Selain itu, beliau juga banyak menulis karanga pendek yang dikenal dengan maqallah.
Di bidang kedokteran, karyanya yang terkenal adalah “Al-Qanun”  yang berisi tentang pengobatan ala Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diajarkan selama berabad-abad di Universitas Barat.
Ibnu Sina bukan hanya dikenal di dunia Islam, namun juga di kalangan sarjana-sarjana barat dengan nama Avicena atau Aven Sina (Spanyol). Ketenarannya dalam bidang filsafat dan kedokteran di dunia barat sulit dipisahkan dari perjalanan hidupnya, sehingga para sarjana barat memberinya gelar “The Prince of the physicianns”. Sementara itu, di dunia Islam, ia akrab disapa dengan nama “Al-Syaikh Al-Rais”, yang berarti pemimpin utama (dari para filsuf).
B.       Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
Dalam bidang filsafat, Ibnu sina memiliki kontribusi yang besar. Beliau membahas tentang filsafat wujud, jiwa, dan filsafat kenabian.
1.      Filsafat Wujud Ketuhanan.
Menurut Ibnu Sina, essensi terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat essensi yang terdapat dalam akal bisa memiliki eksistensi diluar akal. Menurutnya, kombinasi essensi dan wujud dapat dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya:
a.         Essensi yang mustahil mempunyai wujud (mumtani’al-wujud/impossible being). Contohnya rasa sakit.
b.        Essensi yang mungkin mempunyai wujud dan mungkin juga tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud). Contohnya adalah alam ini.
c.         Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-wujud). Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan.
Dalam pemikiran Ibnu Sina, perbuatan Allah dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu:
a.         Perbuatan Allah tidak kontiniu (ghairi mutajaddid)
Perbuatan yang tidak kontiniu yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najat (hal. 372) dijelaskan bahwa adanya wajib wujud (Tuhan) itu adalah keseharusan dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain, dan semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru. Perbuatan Allah telah selesai sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah-olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
b.        Perbuatan Allah itu tidak mempunyai tujuan apapun.
Menurutnya, adanya alam merupakan perbuatan mekanis belaka atas adanya wajib al-wujud.
c.         Perbuatan Allah tidak memberikan kehendak bebas kepada makhluk.
Jika perbuatan Ilahi telah selesai dan tidak mengandung maksud apapun, maka akan terbentuk “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
d.        Perbuatan Allah hanya memberi wujud
Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti: shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub ‘anhu (wajib darinya). Hal ini digunakan oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
2.      Filsafat Jiwa
Dalam pembahasan tentang jiwa, Ibnu Sina memberikan perhatian yang khusus. Filosof-filosof yang banyak mempengaruhi pemikirannya tentang ilmu kejiwaan adalah Aristoteles, Galius, dan Plotinus. Secara garis besar Jiwa dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.         Segi Fisika
Segi fisika membicarakan tentang macam-macamnya jiwa: (1) jiwa tumbuhan yang mempunyai daya (nutrition): makan, tumbuh (growth), dan berkembang biak (reproduction); (2) jiwa hewan yang mempunyai daya: gerak, (locomotion), dan menangkap (perception) dengan dua bagian, yaitu dengan panca indera (sentuh, perasa, pencium, penglihatan, dan pendengaran) dan dengan indera dalam (indra al-hiss al-musytarak berfungsi menerima segala yang ditangkap oleh indera luar, indra al-khayyal berfungsi menyimpan apa yang ditangkap indera, indera al-mutakhayyilat berfungsi menyusun apa yang disimpan oleh khayyal, indera estimasi berfungsi menangkap hal-hal yang abstrak. Seperti  menghindari sesuatu yang dibenci oleh hewan tersebut, dan indera rekoleksi berfungsi menyimpan hal-hal abstrak yang diterima dari estimasi); dan (3) jiwa manusia yang mempunyai daya: Praktis berhubungan dengan badan dan daya Teoritis berhubungan dengan hal-hal abstrak. Daya teoritis  mempunyai tingkatan:
(1)   Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
(2)   Akal al-malakat, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
(3)   Akal aktual, yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
(4)   Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Demikianlah pandangan Ibnu Sina mengenai pembagian jiwa dilihat dari segi fisikanya.
b.        Segi Metafisika
Segi metafisika membicarakan tentang wujud jiwa dan hakikat jiwa, serta pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa. Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu:
(1)   Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin ditafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa- peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan. Gerak ada dua macam yaitu :
(a)      Gerak paksaan (harakah qahriah)
Gerak paksaan timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
(b)     Gerak bukan paksaan
Gerak ini terbagi menjadi dua yaitu gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya sesuatu dari atas ke bawah dan gerak diam benda yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti burung yang terbang di udara, seharusnya jatuh atau tetap di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut adalah jiwa.
Pengenalan tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua-duanya dari Aristoteles.
(2)   Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur , maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.
(3)   Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa sekarang mempunyai hubungan dengan masa lampau dan masa depan. Kehidupan ruh pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan ruh yang kemarin, bahkan kehidupan yang terjadi sekarang ada hubungannya dengan kehidupan yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Perubahan tersebut saling berhubungan  karena adanya jiwa.
(4)   Hukum Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Menurut Ibnu Sina, jika ada seseorang yang bisa menggantungkan dirinya di udara dan tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, kemudian ia menutup matanya dan tidak melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya. Maka orang tersebut akan menyadari bahwa dirinya itu ada. Jika ia memikirkan tentang wujud adanya tangan dan kakinya, berarti wujud penggambaran dirinya membuktikan bahwa eksistensi jiwa dalam organ itu ada.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
3.      Falsafah kenabian & wahyu
Kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, imajinatif, keajaiban, dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan. Menurut Sirajuddin, perbedaan antara nabi dan filosof adalah bahwa seorang nabi adalah manusia pertama, manusia pilihan Tuhan, Sedangkan filosof adalah menusia kedua, manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil dan tingkatan akal yang terberat adalah akal mustafad. Kebenaran filosof didapat melalui akal mustafad karena perolehan ilham yang merupakan sebuah perjuangan dan latihan yang keras. Sedangkan kebenaran nabi didapat dari malaikat Jibril yang berhubungan dengan nabi melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci). Kebenaran nabi itulah yang dinamakan wahyu.
Terkadang Allah menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar, yang Ibnu Sina diberi nama al hads atau intuisi. Menurutnya, intuisi ini dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.
Demikianlah Ibnu Sina memandang bahwa para nabi lebih unggul dari para filosof karena para nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha yang keras.
Wassalam..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Wujud Substantif dan Kopulatif

MASJID JERRAE SEBAGAI SALAH SATU MASJID TERTUA DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

SEKSUALITAS DALAM MAZHAB REALIS