Aku “Diantara Pengetahuan & Keraguan”

"Aku Lebih Baik Hidup Sehari dengan Mata Terbuka,
daripada Hidup Seribu Tahun dengan Mata Tertutup"

Nurul Asia Lantong
Mungkinkah aku ini Ada?
Benarkah realitas yang kusaksikan bukanlah sebuah mimpi yang  panjang?
Mungkinkah aku untuk berpengetahuan?

Pada abad ke-15 SM muncul sekelompok sarjana yang menyebut diri mereka sebagai “sophis”. Yang paling terkenal diantara mereka adalah Phyro. Dia mengatakan bahwa kita tidak mungkin memiliki pengetahuan yang hakiki. Instrument pengetahuan yang kita miliki bukanlah sesuatu yang terbebas dari kekeliruan.

Indra dengan segala keterbatasannya, tidak bisa dijadikan sebagai sandaran pengetahuan kita. Disuatu waktu saat baru terbangun dari tidur, indra penglihatan melihat manusia memiliki dua kepala, empat mata, dua hidung, dsb, padahal pada realitasnya tidaklah demikian. Begitu pula dengan tongkat yang ujungnya dimasukkan ke dalam air, maka akan terlihat bengkok, padahal realitasnya tidaklah demikian.

Selain indra, kita memiliki akal yang juga merupakan instrument pengetahuan. Harapan kita, akal bisa lebih sempurna dari indra, namun ternyata akal lebih banyak melakukan kekeliruan. Kesimpula-kesimpulan yang diyakini benar hari ini, ternyata terbukti salah dikemnudian hari. Lalu apa lagi yang akan kita jadikan sebagai sandaran pengetahuan kita?

Al-Ghazali, seorang filosof muslim juga mengalami keraguan yang sama dengan Phyro. Dia berpendapat bahwa alam semesta ini hanyalah alam mimpi. Apa yang kita alami saat ini bukanlah realitas. Suatu saat kita akan terbangun dan menyadari bahwa semua hanya mimpi. Seperti halnya saat kita tertidur dan bermimpi, kita mengira yang kita alami itu adalah nyata, padahal semuanya menghilang saat kita terbangun, demikianlah hidup ini, hanyalah merupakan mimpi yang panjang.

Selain Phyro dan Al-Ghazali, juga ada Rene Descartes. Dia juga mengalami keresahan yang sama mengenai pengetahuan. Dia mengatakan: “dengan dalil apa saat saya mengatakan bahwa ala mini adalah demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, roh itu ada, kota paris itu ada, serta agama al-masih adalah demikian?” Dia tenggelam dalam kebimbangan dan keraguan, dia berpikir hingga dia menyimpulkan bahwa meskipun dia meragukan segala yang ada, tetapi dia tidak ragu bahwa dia sedang berada dalam keraguan dan dia ada sebagai subjek peragu.

Ketika kita mencermati pandangan para penganut skeptisisme diatas, kita dapat melihat bahwa mereka, meskipun sama-sama ragu, keraguan mereka memiliki karakter yang berbeda. Phyro meragukan indra dan akalnya sebagai sumber pengetahuan yang mutlak. Disaat yang bersamaan dia sebenarnya percaya bahwa ada pengetahuan yang mutlak, hanya saja indra dan akalnya tidak mampu menangkapnya.

Al-Ghazali dengan teori mimpinya mengatakan bahwa segala yang kita alami mungkin saja hanyalah sebuah mimpi yang akan kita sadari saat kita terbangun. Saat dia mengatakan bahwa semua hanyalah mimpi, sebenarnya dia sedang mengukuhkan bahwa realitas ada, yang suatu saat akan kita temukan saat terbangun dari tidur panjang. Rene Descartes adalah yang paling beruntung diantara ketiganya karena dia telah berhasil menemukan bahwa dia ada dan dia telah beranjak dari keraguannya. Dia telah menyadari keberadaannya dan keberadaan keraguannya.

Dibalik perbedaan ketiga tokoh peragu diatas, dapat kita simpulkan bahwa mereka bukan meragukan eksistensi mereka. Baik mereka sadari atau tidak, mereka yakin bahwa diri mereka ada, yang mereka raguakn hanyalah pengetahuan mereka tentang realitas. Georgeas, salah bsatu tokoh peragu yang lain mengatakan: “tiada yang mewujud, kalaupun ada wujud, ia tidak bisa diketahui, kalaupun bisa diketahui, tak dapat dikomunikasikan.” Dibalik pernyataan tesebut, sebenarnya dia hanyalah mengatakan bahwa realitas itu ada, hanya saja sulit untuk diketahui dan dikomunikasikan.

Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil adalah bahwa sebenarnya realitas itu ada, dan berpengetahuan itu adalah sebuah keniscayaan. Tak ada satu orang pun di dunia ini yang meragukan tentang hal itu secara fitrah, tinggal bagaimana cara kita menemukan dan memisahkan antara yang benar dan yang salah. Disinilah dibutuhkan epistemology yang tepat untuk bisa mengtantarkan kita pada kebenaran yang hakiki, kebenaran ynag kita yakini dan tak akan pernah lagi kita ragukan, kebenaran yang bersandar pada pengetahuan yang rasional, bukan doktrin yang memiliki pondasi yang rapuh, kebenaran yang akan mengantarkan kita pada kepastian dan kebahagiaan hidup, Insya Allah.

Wallahu A‘lam bi Sawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Wujud Substantif dan Kopulatif

MASJID JERRAE SEBAGAI SALAH SATU MASJID TERTUA DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

SEKSUALITAS DALAM MAZHAB REALIS