Aku dan Predikat
Benarkah aku ada?
Dapatkah aku dikenali tanpa atributku?
Segala yang menempel pada diriku adalah
atribut, dengan atribut itulah aku dikenal. Lalu siapakah diriku tanpa atribut?
Atau jangan sampai diriku pun adalah atribut bagi yang lain?
Jika atribut itu penting, mungkinkah
jika sebenarnya dialah yang hakiki, sedangkan aku hanyalah ketiadaan tanpanya?
Jika kubalik pertanyaanku, adakah atribut itu tanpa diriku? Manakah yang hakiki
diantara keduanya? Atau mungkinkah keduanya adalah hakiki? Atau mungkin juga
keduanya tidak hakiki.
Dalam kebingunganku, aku beranjak dari
diriku, aku berpikir dan kutemukan bahwa diriku memang benar ada. Pada
dirikulah atribut menempel. Tanpa diriku, dia hanyalah sebatas konsep. Akulah
yang realitas, akulah yang mencari, akulah yang bertanya, akulah yang ada.
Pertanyaan yang lagi muncul dalam
diriku, benarkah aku sebagai subjek yang hakiki, atau aku pun hanyalah predikat
bagi sesuatu yang lebih besar dari diriku? Lalu bagaimana hubungan aku dengan ADA
itu sendiri?
Dalam sebuah diskusi antara nyawa dan
hidup. Nyawa mengatakan bahwa akulah Tuhan dan engkaulah hamba. Lalu hidup
mengatakan, kalau begitu, keluarlah dari diriku! Jika kau masih tetap ada
tanpaku, maka engkaulah Tuhan dan Aku hambamu.
Kesimpulan yang dapat saya ambil dari
sini adalah bahwa ketika kita berbicara tentang epistemologi, maka akulah subjek,
akulah yang hakiki, sedangkan yang lain hanyalah predikat, bahkan pengetahuan
itu sendiri pun adalah predikat yang menempel pada diriku, dan semua yang
menempel pasti bergantung, sehingga akulah yang hakiki.
Tapi ketika kita menariknya ke arah
ontologi, maka akupun hanyalah predikat bagi ADA itu sendiri, akulah yang
bergantung padaNya dalam segi keberadaan.
Wallahu A’lam bi Sawwab
Sholawat kepada Rasullah SAW beserta
keluarga dan para sahabatnya
Komentar
Posting Komentar