Taqwa & Keadilan: Sosial Sebagai Disposesi

Bismillahirrahmanirrahiim…
Innallaaha wa malaaikatahu yushalluuna ‘alannabii, yaa ayyuhalladziina aamanuu shallu alaiihi wasallimu tasliman. Allaahumma shalli ala Muhammad wa ali Muhammad..

A.    Latar Belakang

Dewasa ini, kita mengalami persoalan yang sangat besar yaitu semakin bertambahnya orang – orang yang beragama tapi ketidakadilan semakin menjamur. Semua agama mengajarkan tentang keadilan, namun faktanya banyak penganut agama yang tidak adil. Kita menyaksikan di sekeliling kita, betapa banyak orang yang taat beribadah, menggunakan pakaian – pakaian/simbol agama, namun dia tidak berlaku adil pada sesamanya.

Ketakwaan adalah kekuatan besar yang dimiliki oleh orang yang beragama. Ketakwaan senantiasa menjaga dan memelihara manusia. ketakwaan mampu memberikan ketajaman penglihatan bathin kepada manusia yang beragama, tapi masih banyak manusia yang berlaku tidak adil.

B.     Rumusan Masalah

Ketakwaan adalah hubungan manusia dengan Tuhan (bersifat vertikal/ke atas), sedangkan keadilan adalah hubungan manusia dengan sosial (bersifat horizontal/ke samping). Lalu dimanakah letak keterkaitan antara ketakwaan dengan keadilan? Apakah mungkin tidak ada keterkaitan antara urusan ketuhanan dengan urusan kemanusiaan? Jika demikian, maka wajar kalau penganut agama tinggal di sudut – sudut masjid tanpa mengenal dunia luar, sedangkan para pecinta dunia hidup jaya tapi tak tahu jalan menuju masjid.

C.    Deskripsi

Sebelum kita menjawab persoalan – persoalan di atas, terlebih dahulu penulis akan mendeskripsikan tentang takwa menurut Murtadha Muthahhari dalam buku “Ceramah – ceramah seputar persolan penting agama dan kehidupan.”
1.      Pengertian takwa dan macam – macam takwa
Kata takwa berasal dari kata waqyan yang berarti menjaga dan memelihara atau kata ittiqa yang berarti penjagaan. Dalam terjemahan Persia, kata ini digunakan dalam bentuk kata benda seperti taqwa atau muttaqin yang diterjemahkan dengan arti “menjauhi”. Namun belum ada ahli bahasa yang menyepakati bahwa taqwa berarti menjauhi.  Lalu dari mana terjemahan tersebut? Terkadang digunakan kaedah lafal musabbab (yang disebabkan) pada sebab, dan penggunaan lafal sebab pada musabbab, sehingga kata takut digunakan sebagai kata ganti pada kata takwa, dan demikian pula sebaliknya. (Ceramah Muthahhari halaman 13). Takwa artinya bukan takut, tapi takut hanyalah salah satu dari sekian pengaruh takwa.
Takwa dalam artian umum adalah keharusan bagi kehidupan setiap individu yang ingin menjadi manusia, ingin hidup dibawah komando akal, dan ingin mengikuti dasar – dasar pijakan tertentu. Takwa Ilahi ialah dimana seorang manusia menjaga dan memelihara dirinya dari hal – hal yang menurut pandangan agama dan dasar – dasar pijakan yang telah ditetapkan oleh agama merupakan suatu dosa dan keburukan, dan tidak melakukannya. (Ceramah Muthahhari halaman 18).
Takwa laksana kuda – kuda yang terlatih, para penunggangnya di dudukkan di atas punggung dan kekang diserahkan ke tangan penunggang, sehingga kuda – kuda itu akan membawa mereka ke surga. Takwa dalam arti usaha menjaga dan memelihara diri, dibagi dalam 2 macam, diantaranya:
a.       Takwa yang lemah

Orang yang masuk dalam golongan ini adalah orang – orang yang menjaga dirinya dengan menjauhi lingkungan yang dipenuhi dosa. Takwa jenis ini banyak terdapat di zaman sekarang, dimana banyak orang mengucilkan diri dan menjauhkan dirinya dari hal – hal yang menjerumuskannya kepada dosa.

b.      Takwa yang kuat

Takwa jenis kedua ini adalah dimana di dalam diri manusia terdapat kekuatan yang menjaga dan membentengi akhlak dan rohaninya, sehingga walaupun dia berada dalam lingkungan yang penuh dengan kemaksiatan, kekuatan rohani dalam dirinya akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan maksiat.
Kita telah mengatakan sebelumnya bahwa takwa adalah keharusan mengikuti dasar – dasar ajaran tertentu dan menjaga dirinya agar tidak keluar dari batas – batasnya, dan jika hawa nafsu menggoda dan menggerakkan dirinya untuk keluar batas, maka dia menjaga dan memelihara dirinya untuk tidak keluar (Ceramah Muthahhari halaman 23 dan 24.

2.      Kedudukan takwa: keterbatasan atau keterjagaan

Takwa bagi jiwa seperti rumah bagi kehidupan, dan seperti pakaian bagi tubuh. Allah SWT berfirman dalam surat Al – A’raf ayat 26 yang artinya: “Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.”

Sesuatu itu dinamakan keterbatasan jika dia menghalangi manusia dari karunia dan kebahagiaan, sedangkan sesuatu yang mencegah dan melindungi manusia dari bahaya bukanlah keterbatasan melainkan keterjagaan. Ali bin Abi Thali bra berkata: “Ingatlah, jagalah takwa olehmu, dan dengan perantara takwa ciptakanlah keterjagaan dirimu.” (Nahj al – balaghah, kotbah 289)

Takwa dapat membebaskan manusia dari segala bentuk hawa nafsu dan mengangkat segala sifat buruk, sehingga dengannya, takwa juga dapat membebaskan manusia dari perbudakan sosial, karena perbudakan sosial adalah hasil dari perbudakan spiritual. Jadi, takwa bukan hanya bukan keterbatasan namun juga takwa adalah kebebasan itu sendiri.

Hal yang perlu kita perhatikan adalah bahwa dalam aturan agama, kita melihat bahwa takwa adalah penjaga dan pelindung dari banyak dosa, namun yang berkaitan dengan dosa lain yang lebih kuat, maka kita diperintahkan untuk menjauhinya. Contohnya, seseorang tidak dilarang berduaan dengan minuman keras, alat bunuh diri, atau alat – alat berbahaya lainnya karena takwa akan menjaganya. Akan tetapi, dalam masalah seksual, maka jaminan dari takwa ini diangkat, dan diberi aturan bahwa menyendiri dengan yang bukan mahram adalah terlarang.

3.      Nilai dan pengaruh takwa

Sebelumnya, kita telah membahas bahwa takwa pada tingkat pertama dari sisi akhlak dan spiritual, secara langsung dapat membebaskan manusia dari segala macam penjara nafsu, serta megangkat sifat tamak, loba, dengki, syahwat, dan marah. Kita juga mengetahui bahwa semua penyakit sosial yang ada disebabkan oleh keterpenjaraan manusia secara spiritual atau ketidakmampuannya mengendalikan segala macam bentuk hawa nafsu.

Dari pembahasan diatas kita dapat memahami bahwa nilai dan pengaruh takwa sangat besar, bukan hanya terhadap individu, namun juga terhadap sosial. Takwa akan membawa manusia hidup dalam keteraturan dan hukum. Takwa akan menjaga setiap tindakan manusia hingga tak akan menimbulkan kerusakan – kerusakan di alam.

Selain itu, takwa juga berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Seorang yang bertakwa merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Seorang yang bertakwa memiliki jiwa lebih tenang, syaraf – syarafnya yang selalu rileks, dan hati yang lebih lapang. Orang yang bertakwa tidak menuntut dirinya untuk hal – hal yang tidak dapat dimilikinya sehingga dia tidak perlu mengalami stress, radang usus, radang lambung, dan lain – lain. Hasilnya, keselamatan badan, keselamatan jiwa, dan keselamatan  sosial senantiasa terkait dengan ketakwaan.

Selain pengaruh diatas, ada dua pengaruh besar takwa yang akan kita bahas dalam pembahsan ini, yaitu:

a.      Ketajaman penglihatan bathin

“Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang haq dan yang bathil) kepadamu.” (Surah Al – Anfal ayat 29)

Kekuatan akal manusia mempunyai dua produk pemikiran yaitu pemikiran – pemikiran nazhari dan pemikiran – pemikiran ‘amali.

1.      Pemikiran nazhari yaitu kerja akal di dalam ilmu – ilmu yang berkaitan dengan realitas (waqi’iyyat), yaitu apakah sesuatu itu begini atau begitu, apakah sesuatu itu bermanfaat atau tidak, apakah makna ini memiliki hakikat atau tidak, dan lain – lain. Pemikiran ini menjadi dasar bagi ilmu fisika, matematika, dan filsafat.

2.      Pemikiran ‘amali adalah sesuatu yang menjadi dasar bagi ilmu – ilmu kehidupan dan dasar bagi prinsip – prinsip akhlak, yaitu apakah pekerjaan ini atau pekerjaan itu yang harus saya lakukan, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan tidak boleh, mana perintah dan mana larangan, dan lain – lain.

Ketika kita berbicara tentang keterkaitan akal dengan takwa, maka yang dimaksud adalah akal ‘amali. Artinya, dengan pengaruh takwa seorang manusia dapat mengenal penyakit dirinya, obat dirinya, dan jalan yang harus ditempuh dalam kehidupan. Orang yang bertakwa tidak berarti bahwa dia harus pintar matematika atau filsafat. Bahkan, pada pengetahuan Ilahi tidak ada lagi pilar akal nazhari, filsafat, argumentasi, logika, dan penyusunan berbagai premis dari kesimpulan kepada mukaddimah dan dari mukaddimah kepada kesimpulan. Maksudnya adalah bahwa takwa menyebabkan ketajaman penglihatan, tidak mengacu pada masalah – masalah nazhari dan tidak mengacu pada akal nazhari.

Sebelum seluruh argumentasi dilakukan, pengalaman telah membuktikannya. Ketakwaan, kesucian, dan penundukan hawa nafsu, mempunyai pengaruh terhadap terangnya penglihatan akal.

Wilayah akal ‘amali adalah perasaan, kecenderungan, dan syahwat. Jika syahwat dan hawa nafsu telah keluar dari batas keseimbangannya dan manusia telah dikendalikan oleh hawa nafsunya, niscaya manusia akan membangkang perintah akal, mereka akan berteriak terhadap seruan akal dan nurani, menganggapnya sebagai parasit. (Ceramah – ceramah seputar persoalan penting agama dan kehidupan, halaman 45).

Sebagai contoh, jika dalam sebuah ruangan ada satu orang yang berbicara dan yang lainnya mendengarkan, maka suara itu akan terdengar dengan jelas. Namun, jika masing – masing berbicara dengan suara yang sangat keras, maka bahkan pembicarapun tidak akan mendengar suaranya sendiri. Demikian pula dengan akal, jika kita membiarkan hawa nafsu menguasai kita, maka teriakan akal tidak akan terdengar, namun jika kita yang mengendalikan nafsu di bawah komando akal, maka akan terlihat jelas realitas itu.

Contoh lainnya, seseorang yang sudah memutuskan tidak akan makan cabe, karena dia tahu bahwa dia pasti sakit perut setelahnya, namun syahwatnya juga berteriak untuk mencicipinya karena cabenya terlihat enak dan beda dari biasanya.  Jika akalnya yang lebih kuat, maka dia tidak akan makan cabe, namun jika syahwatnya yang lebih kuat, maka dia akan berkata “saya akan mencicipinya kali ini, adapun masalah sakit, itu urusan belakang”. Jadi, jika hawa nafsu yang seperti ini ada pada manusia, maka jelas dia akan melemahkan dan membinasakan pengaruh akalnya. Imam Ja’far Shadiq berkata: “hawa nafsu adalah musuh akal manusia.”

Ali bin Abi Thalib berkata: “kekaguman seseorang terhadap dirinya adalah salah satu penghasut akalnya. (Nahj Al – Balaghah, hikmat 212). Rasulullah SAW berkata: “sekeras – kerasnya musuhmu adalah hawa nafsumu yang terletak diantara kedua pinggulmu.” (Bihar Al – Anwar, jilid 70 halaman 64).

Hawa nafsu menjadi musuh besar manusia karena hawa nafsu adalah musuh akal, sedangkan akal adalah sahabat manusia. Rasulullah SAW bersabda: “sahabat sesungguhnya bagi setiap orang adalah akalnya”, seseorang dapat membela diri dari musuh dengan menggunakan akalnya, akan tetapi jika ada musuh yang mampu mencuri akalnya, maka musuh itu lebih berbahaya dari segalanya.

Dari sinilah dapat dijelaskan pengaruh takwa pada penguatan akal dan bertambahnya ketajaman penglihatan. Takwa adalah musuh bagi hawa nafsu, dan hawa nafsu adalah musuh dari akal. Kekuatan takwa datang untuk mematahkan dan menundukkan hawa nafsu yang merupakan musuh dari akal. Takwa tidak akan membiarkan hawa nafsu menghancurkan pengaruh akal, menaburkan debu di hadapannya, dan menciptakan parasit baginya. (Ceramah – ceramah seputar persoalan penting agama dan kehidupan, halaman 48).

Manusia adalah makhluk peragu, dia meragukan banyak hal, namun dia tidak akan ragu bahwa marah, syahwat, tamak, iri, keras kepala, sombong terhadap diri, dan lain – lain dapat membuatnya buta dan tuli dalam hidupnya. Kebiasaan yang terdapat dalam diri manusia adalah tidak bisa melihat kekurangan yang dimilikinya namun sangat mudah melihat kekurangan orang lain.

Jika kita dapat menundukkan nafsu amarah kita dengan kekuatan takwa, maka pada saat itu kita akan dapat melihat bahwa betapa kita dapat mengenal dengan baik jalan kebahagiaan, betapa kita dapat melihat dan memahami dengan baik, dan betapa akal kita memberikan ilham dengan baik kepada kita. Pada saat itu, kita akan memahami bahwa masalah – masalah ini tidak begitu sulit dan tidak begitu memerlukan argumentasi. Sangat terang dan jelas bagi kita, hanya saja debu dan parasit tidak membiarkan kita dapat mendengar suara akal kita.

Ali bin Abi Thalib berkata: “dia menghidupkan akalnya, mematikan nafsunya, sehingga tampak pada badannya dimana tulangnya menjadi mengecil, dan kekasaran dirinya berubah menjadi kelembutan. Pada saat itulah kilat cahaya besar menyambar, menunjukkan jalan kepadanya, menjadikan dia melalui jalan tersebut, sehingga dia dapat bergerak dari pintu ke pintu berikutnya, dan akhirnya sampai ke pintu keselamatan mutlak.” (Nahj Al – Balaghah, kotbah 218).

Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al – Maidah ayat 16, yang artinya: “dengan kitab itulah Allah menunjuki orang – orang yang mengikuti keridhoan – Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang – orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin – Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.

b.      Penyelesaian kesulitan manusia

Sebelum kita menjelaskan pengaruh takwa dalam penyelesaian kesulitan manusia, terlebih dahulu kita akan menjelaskan dua macam bentuk kesulitan. Pertama, kesulitan yang keinginan manusia sama sekali tidak ikut campur di dalamnya, seperti angin topan, kecelakaan pesawat, dan lain – lain. Kedua, kesulitan yang keinginan manusia ikut campur di dalamnya, maksudnya kesulitan  kesulitan yang bersifat akhlak dan sosial.

Jadi disini ada dua masalah, yaitu pengaruh takwa terhadap kesulitan bentuk pertama dan pengaruh takwa terhadap kesulitan bentuk kedua. Kesulitan bentuk pertama jarang terjadi, maka yang akan kita bahas dalam kesempatan kali ini adalah pengaruh takwa terhadap kesulitan bentuk kedua. Karena, pokok berbagai musibah dan kesulitan yang datang menghampiri manusia, yang membuat kehidupannya menjadi sulit dan merampas kebahagiaannnya adalah musibah – musibah yang bersifat akhlak dan sosial.

Kebanyakan musibah yang kita alami bukan datang dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri, itulah kenapa senjata takwa sangat berpengaruh dalam menjauhkan manusia dari berbagai fitnah. Dan kalaupun manusia telah jatuh kepada fitnah dan musibah, maka takwa akan menyelamatkannya. Allah SWT berfirman dalam surah Al – A’raf ayat 201, yang artinya: “Sesungguhnya orang – orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was – was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan – kesalahannya.

Dengan dalil inilah takwa mempunyai pengaruhnya yang pertama, yaitu berupa ketajaman penglihatan, dan juga pengaruhnya yang kedua, yaitu keselamatan dari berbagai kecelakaan dan musibah. Kesulitan – kesulitan ditemukan di dalam kegelapan, dan kegelapan adalah debu dosa dan hawa nafsu. Ketika cahaya takwa ditemukan maka jalan dan jurang dapat dibedakan, dan manusia akan lebih sedikit ditimpa kesulitan. Kalaupun manusia ditimpa kesulitan, maka dengan cahaya takwa dia dapat lebih mudah menemukan jalan keluar. (Ceramah – ceramah seputar persoalan penting agama dan kehidupan, halaman 56).

Takwa begitu banyak menyelamatkan manusia dari berbagai musibah dan kesengsaraan, lalu mengantarkannya kepada puncak kemuliaan. Allah SWT berfirman dalam surah Yusuf ayat 90 yang artinya: “sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tiada menyia – nyiakan pahala orang – orang yang berbuat baik.

D.    Analisis

Pada kesempatan ini, penulis mencoba menganalisis hubungan antara takwa dengan keadilan. Dengan upaya – upaya lahiriah, manusia berusaha menjaga ketakwaannya hingga akhirnya dia mencapai ketakwaan rohaniah. Ketakwaan yang telah sampai pada tingkat rohani adalah ketakwaan yang kuat yang dapat menjaga spiritual dan akhlak manusia. Takwa secara spiritual adalah sahabat manusia karena hanya takwa yang dapat menjaga manusia dari liarnya hawa nafsu. Dengan ketakwaan, manusia tidak akan berpikir atau berbuat yang berlebihan.

Secara spiritual, takwa adalah jalan menuju Tuhan. Orang yang bertakwa akan senantiasa menjaga dirinya dari hal – hal yang akan mengotori jiwanya. Sehingga takwa sangat erat kaitannya dengan kesucian diri. Lalu apa hubungannya dengan keadilan?

Keadilan adalah pandangan dunia yang harus diberikan dan diterima oleh semua orang. Keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Faktanya adalah, berbuat adil itu sangat sulit karena bukan hanya berkaitan dengan diri kita namun juga orang lain. Bukan hanya berkaitan dengan pemberi, tapi juga penerima dan seluruh semesta. Lalu bagaimana kita mampu meletakkan keadilan itu tanpa ketajaman penglihatan bathin? Mata indrawi kita bisa tertipu, akal nazhari kita bisa salah. Hanya hikmah ‘amali/ akal ‘amali yang mampu menuntun kita pada keadilan.

Keadilan itu sendiri bukanlah hal yang menakutkan. Orang yang takut pada keadilah, pada hakikatnya takut pada dirinya, karena telah melakukan kesalahan – kesalahan di masa lalu atau dia merasa takut pada masa yang akan datang karena telah melanggar hak – hak orang lain. (Ceramah Muthahhari halaman 16)

Hal yang perlu kita tekankan kembali adalah bahwa orang yang beragama belum tentu bertakwa. Faktanya, ada banyak orang yang beragama tapi tidak menjalankan perintah agama dan tidak menjauhi larangan agama. Fakta yang kedua adalah bahwa ada banyak orang yang menjalankan perintah agama yang bersifat individual namun menutup mata terhadap hal – hal yang bersifat sosial. Hal ini berkaitan dengan takwa jenis pertama (lemah), dimana dia masih harus menjaga ketakwaannya hingga memilih menyendiri untuk menghindari diri ketergelinciran.

Takwa dalam pembahasan ini adalah takwa yang memiliki efek pada sosial, takwa yang bukan hanya bersifat individual. Takwa jenis kedua (kuat) adalah takwa yang hidup dalam masyarakat dengan segala permasalahan dan godaan – godaannya. Ketakwaan rohani yang bukan hanya dapat menjaga individu, namun juga dapat menjaga sosial.

Sahabat manusia adalah akalnya
Musuh akal adalah hawa nafsu
Musuh nafsu adalah takwa

Secara sepintas memang tidak terlihat hubungan langsung antara akal dengan takwa, namun takwa adalah musuh dari hawa nafsu, dan hawa nafsu adalah musuh akal. Bukankah seseorang dapat membela diri dari musuh dengan menggunakan akalnya, akan tetapi jika ada musuh yang mampu mencuri akalnya, maka musuh itu lebih berbahaya dari segalanya? Disinilah peran takwa dalam menjaga manusia dari tunduknya akal pada kehendak nafsu.

Dengan ketakwaan yang dimiliki, seseorang dapat menjaga dirinya dari penguasaan hawa nafsu sehingga akal dapat bekerja dengan optimal. Kekuatan akal akan melahirkan ketajaman penglihatan bathin. Ketakwaan rohani berkaitan erat dengan sosial, dimana dengan ketajaman penglihatan bathin dapat menjadi furqan (pembeda). Dengan ketajaman penglihatan bathin, manusia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah sehingga dia dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Disinilah letak disposesi antara ketakwaan dan keadilan.

Penulis perlu memperjelas bahwa keadilan yang penulis bahas di atas adalah keadilan sebagai tujuan takwa. Keadilan yang diletakkan oleh orang – orang yang memiliki kesucian dan ketakwaan. Mengapa demikian? Karena keadilan itu adalah pandangan dunia yang meliputi segala hal, maksudnya selain sebagai tujuan, keadilan juga merupakan syarat takwa. Orang tidak akan mampu mencapai ketakwaan jika dia tidak berlaku adil. Keadilan sebagai syarat takwa disini adalah keadilan yang bisa diukur secara hukum, keadilan yang bersifat material.

Inilah kenapa keadilan dan takwa itu dari sudut pandang tertentu tidak memiliki kaitan langsung, tapi dari sudut pandang yang lain memiliki kaitan yang erat. Dari sudut pandang tertentu takwa adalah syarat keadilan dan dari sudut pandang tertentu keadilan adalah syarat takwa. Hubungan antara takwa dan keadilan bukanlah seperti hubungan sebuah benda dengan hiasannya, dimana yang satu adalah yang utama dan yang lainnya adalah hiasan atau tambahan.

Takwa bukanlah sesuatu yang stagnan, sehingga kita harus menjaganya secara aktif, jika tidak, maka bisa saja kita tergelincir setelah sampai kepada ketakwaan itu. Keadilan adalah salah satu bentuk penjagaan itu, dimana keadilanlah yang akan mengantarkan manusia pada derajat takwa yang lebih tinggi.

E.     Kesimpulan

Banyak orang yang memiliki kecerdasan dalam ilmu – ilmu fisika, matematika, filsafat, dan lain – lain namun dia tidak memiliki kemampuan dalam membedakan yang benar dan yang salah, dia tidak memiliki kemampuan dalam meletakkan sesuatu pada tempatnya. Itu bukan karena mereka pura – pura cerdas, namun karena kecerdasan yang dimilikinya hanya sebatas kecerdasan teoritis/ akal nazhari.

Dalam fenomena yang lain, kita melihat ada orang yang tidak terlalu memiliki kemampuan dalam bidang ilmu – ilmu sains dan lain – lain, namun ternyata memiliki ketajaman penglihatan bathin yang luar biasa. Itu karena kecerdasan ‘amali bukan hanya berkaitan dengan kemampuan logika dan argumentasi tapi berkaitan dengan kesucian diri dan ketakwaan.

Tentunya yang kita inginkan adalah bagaimana menjadi intelektual yang bukan hanya cerdas secara teoritis namun juga cerdas secara praktis. Kita mendambakan diri kita mampu memaksimalkan dua kekuatan akal yang ada pada diri kita yaitu kekuatan nazhari dan kekuatan ‘amali.

Kecerdasan ‘amali tidak pernah terpisah dengan ketakwaan karena hanya takwa yang mampu menjaga keseimbangan akal. Dengan kecerdasan dan ketakwaan diharapkan terbangun keadilan sosial bagi seluruh umat manusia.

Keadilan adalah merupakan pandangan dunia, dimana ia meliputi segala hal. Keadilan merupakan syarat sekaligus tujuan dari takwa. Keadilan bukan hanya kebutuhan manusia, namun juga kebutuhan seluruh semesta. Orang yang mampu berlaku adil akan menjadi “rahmatan lil ‘aalamin”.

Wallahu ‘Alam bi Sawab
Resopa Temmangingi Namalomo Nalettei Pammase Dewata

Wassalamu alaikum warahmatullaahi wabarakatuh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Wujud Substantif dan Kopulatif

MASJID JERRAE SEBAGAI SALAH SATU MASJID TERTUA DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

SEKSUALITAS DALAM MAZHAB REALIS