Taqwa & Keadilan: Sosial Sebagai Disposesi
Bismillahirrahmanirrahiim…
Innallaaha
wa malaaikatahu yushalluuna ‘alannabii, yaa ayyuhalladziina aamanuu shallu
alaiihi wasallimu tasliman. Allaahumma shalli ala Muhammad wa ali Muhammad..
A.
Latar Belakang
Dewasa ini, kita
mengalami persoalan yang sangat besar yaitu semakin bertambahnya orang – orang
yang beragama tapi ketidakadilan semakin menjamur. Semua agama mengajarkan
tentang keadilan, namun faktanya banyak penganut agama yang tidak adil. Kita
menyaksikan di sekeliling kita, betapa banyak orang yang taat beribadah,
menggunakan pakaian – pakaian/simbol agama, namun dia tidak berlaku adil pada
sesamanya.
Ketakwaan adalah
kekuatan besar yang dimiliki oleh orang yang beragama. Ketakwaan senantiasa
menjaga dan memelihara manusia. ketakwaan mampu memberikan ketajaman
penglihatan bathin kepada manusia yang beragama, tapi masih
banyak manusia yang berlaku tidak adil.
B.
Rumusan Masalah
Ketakwaan adalah
hubungan manusia dengan Tuhan (bersifat vertikal/ke atas), sedangkan keadilan
adalah hubungan manusia dengan sosial (bersifat horizontal/ke samping). Lalu
dimanakah letak keterkaitan antara ketakwaan dengan keadilan? Apakah mungkin
tidak ada keterkaitan antara urusan ketuhanan dengan urusan kemanusiaan?
Jika demikian, maka wajar kalau penganut agama tinggal di sudut – sudut masjid
tanpa mengenal dunia luar, sedangkan para pecinta dunia hidup jaya tapi tak
tahu jalan menuju masjid.
C.
Deskripsi
Sebelum kita
menjawab persoalan – persoalan di atas, terlebih dahulu penulis akan
mendeskripsikan tentang takwa menurut Murtadha Muthahhari dalam buku “Ceramah –
ceramah seputar persolan penting agama dan kehidupan.”
1.
Pengertian
takwa dan macam – macam takwa
Kata takwa berasal dari kata waqyan yang berarti menjaga dan
memelihara atau kata ittiqa yang
berarti penjagaan. Dalam terjemahan Persia, kata ini digunakan dalam bentuk
kata benda seperti taqwa atau muttaqin yang diterjemahkan dengan arti
“menjauhi”. Namun belum ada ahli bahasa yang menyepakati bahwa taqwa berarti
menjauhi. Lalu dari mana terjemahan
tersebut? Terkadang digunakan kaedah lafal musabbab
(yang disebabkan) pada sebab, dan penggunaan lafal sebab pada musabbab, sehingga kata takut digunakan
sebagai kata ganti pada kata takwa, dan demikian pula sebaliknya. (Ceramah Muthahhari halaman 13). Takwa
artinya bukan takut, tapi takut hanyalah salah satu dari sekian pengaruh takwa.
Takwa dalam artian umum adalah
keharusan bagi kehidupan setiap individu yang ingin menjadi manusia, ingin
hidup dibawah komando akal, dan ingin mengikuti dasar – dasar pijakan tertentu.
Takwa Ilahi ialah dimana seorang manusia menjaga dan memelihara dirinya dari
hal – hal yang menurut pandangan agama dan dasar – dasar pijakan yang telah
ditetapkan oleh agama merupakan suatu dosa dan keburukan, dan tidak
melakukannya. (Ceramah Muthahhari halaman
18).
Takwa laksana kuda – kuda yang
terlatih, para penunggangnya di dudukkan di atas punggung dan kekang diserahkan
ke tangan penunggang, sehingga kuda – kuda itu akan membawa mereka ke surga. Takwa dalam arti usaha menjaga dan
memelihara diri, dibagi dalam 2 macam, diantaranya:
a. Takwa yang lemah
Orang yang masuk dalam
golongan ini adalah orang – orang yang menjaga dirinya dengan menjauhi
lingkungan yang dipenuhi dosa. Takwa jenis ini banyak terdapat di zaman
sekarang, dimana banyak orang mengucilkan diri dan menjauhkan dirinya dari hal
– hal yang menjerumuskannya kepada dosa.
b. Takwa yang kuat
Takwa jenis kedua ini
adalah dimana di dalam diri manusia terdapat kekuatan yang menjaga dan
membentengi akhlak dan rohaninya, sehingga walaupun dia berada dalam lingkungan
yang penuh dengan kemaksiatan, kekuatan rohani dalam dirinya akan senantiasa
menjaga dirinya dari perbuatan maksiat.
Kita telah
mengatakan sebelumnya bahwa takwa adalah keharusan mengikuti dasar – dasar
ajaran tertentu dan menjaga dirinya agar tidak keluar dari batas – batasnya,
dan jika hawa nafsu menggoda dan menggerakkan dirinya untuk keluar batas, maka
dia menjaga dan memelihara dirinya untuk tidak keluar (Ceramah Muthahhari halaman 23 dan 24.
2.
Kedudukan
takwa: keterbatasan atau keterjagaan
Takwa bagi
jiwa seperti rumah bagi kehidupan, dan seperti pakaian bagi tubuh. Allah SWT
berfirman dalam surat Al – A’raf ayat 26 yang artinya: “Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.”
Sesuatu itu
dinamakan keterbatasan jika dia menghalangi manusia dari karunia dan
kebahagiaan, sedangkan sesuatu yang mencegah dan melindungi manusia dari bahaya
bukanlah keterbatasan melainkan keterjagaan. Ali bin Abi Thali bra berkata: “Ingatlah, jagalah takwa olehmu, dan dengan
perantara takwa ciptakanlah keterjagaan dirimu.” (Nahj al – balaghah, kotbah 289)
Takwa dapat
membebaskan manusia dari segala bentuk hawa nafsu dan mengangkat segala sifat
buruk, sehingga dengannya, takwa juga dapat membebaskan manusia dari perbudakan
sosial, karena perbudakan sosial adalah hasil dari perbudakan spiritual. Jadi,
takwa bukan hanya bukan keterbatasan namun juga takwa adalah kebebasan itu
sendiri.
Hal yang perlu
kita perhatikan adalah bahwa dalam aturan agama, kita melihat bahwa takwa
adalah penjaga dan pelindung dari banyak dosa, namun yang berkaitan dengan dosa
lain yang lebih kuat, maka kita diperintahkan untuk menjauhinya. Contohnya,
seseorang tidak dilarang berduaan dengan minuman keras, alat bunuh diri, atau
alat – alat berbahaya lainnya karena takwa akan menjaganya. Akan tetapi, dalam
masalah seksual, maka jaminan dari takwa ini diangkat, dan diberi aturan bahwa
menyendiri dengan yang bukan mahram
adalah terlarang.
3.
Nilai
dan pengaruh takwa
Sebelumnya,
kita telah membahas bahwa takwa pada tingkat pertama dari sisi akhlak dan
spiritual, secara langsung dapat membebaskan manusia dari segala macam penjara
nafsu, serta megangkat sifat tamak, loba, dengki, syahwat, dan marah. Kita juga
mengetahui bahwa semua penyakit sosial yang ada disebabkan oleh keterpenjaraan
manusia secara spiritual atau ketidakmampuannya mengendalikan segala macam
bentuk hawa nafsu.
Dari
pembahasan diatas kita dapat memahami bahwa nilai dan pengaruh takwa sangat
besar, bukan hanya terhadap individu, namun juga terhadap sosial. Takwa akan
membawa manusia hidup dalam keteraturan dan hukum. Takwa akan menjaga setiap
tindakan manusia hingga tak akan menimbulkan kerusakan – kerusakan di alam.
Selain itu,
takwa juga berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Seorang yang bertakwa merasa
puas dengan apa yang dimilikinya. Seorang yang bertakwa memiliki jiwa lebih
tenang, syaraf – syarafnya yang selalu rileks, dan hati yang lebih lapang.
Orang yang bertakwa tidak menuntut dirinya untuk hal – hal yang tidak dapat
dimilikinya sehingga dia tidak perlu mengalami stress, radang usus, radang
lambung, dan lain – lain. Hasilnya, keselamatan badan, keselamatan jiwa, dan
keselamatan sosial senantiasa terkait
dengan ketakwaan.
Selain
pengaruh diatas, ada dua pengaruh besar takwa yang akan kita bahas dalam
pembahsan ini, yaitu:
a.
Ketajaman
penglihatan bathin
“Jika
kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan
membedakan antara yang haq dan yang bathil) kepadamu.”
(Surah Al – Anfal ayat 29)
Kekuatan akal manusia
mempunyai dua produk pemikiran yaitu pemikiran – pemikiran nazhari dan pemikiran – pemikiran ‘amali.
1. Pemikiran nazhari yaitu kerja akal di dalam ilmu –
ilmu yang berkaitan dengan realitas (waqi’iyyat),
yaitu apakah sesuatu itu begini atau begitu, apakah sesuatu itu bermanfaat atau
tidak, apakah makna ini memiliki hakikat atau tidak, dan lain – lain. Pemikiran
ini menjadi dasar bagi ilmu fisika, matematika, dan filsafat.
2. Pemikiran ‘amali adalah sesuatu yang menjadi dasar
bagi ilmu – ilmu kehidupan dan dasar bagi prinsip – prinsip akhlak, yaitu
apakah pekerjaan ini atau pekerjaan itu yang harus saya lakukan, mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang boleh dan tidak boleh, mana perintah dan mana
larangan, dan lain – lain.
Ketika kita berbicara
tentang keterkaitan akal dengan takwa, maka yang dimaksud adalah akal ‘amali.
Artinya, dengan pengaruh takwa seorang manusia dapat mengenal penyakit dirinya,
obat dirinya, dan jalan yang harus ditempuh dalam kehidupan. Orang yang
bertakwa tidak berarti bahwa dia harus pintar matematika atau filsafat. Bahkan,
pada pengetahuan Ilahi tidak ada lagi pilar akal nazhari, filsafat, argumentasi, logika, dan penyusunan berbagai
premis dari kesimpulan kepada mukaddimah
dan dari mukaddimah kepada
kesimpulan. Maksudnya adalah bahwa takwa menyebabkan ketajaman penglihatan,
tidak mengacu pada masalah – masalah nazhari
dan tidak mengacu pada akal nazhari.
Sebelum seluruh
argumentasi dilakukan, pengalaman telah membuktikannya. Ketakwaan, kesucian,
dan penundukan hawa nafsu, mempunyai pengaruh terhadap terangnya penglihatan
akal.
Wilayah akal ‘amali adalah perasaan, kecenderungan,
dan syahwat. Jika syahwat dan hawa nafsu telah keluar dari batas
keseimbangannya dan manusia telah dikendalikan oleh hawa nafsunya, niscaya
manusia akan membangkang perintah akal, mereka akan berteriak terhadap seruan
akal dan nurani, menganggapnya sebagai parasit. (Ceramah – ceramah seputar persoalan penting agama dan kehidupan,
halaman 45).
Sebagai contoh, jika
dalam sebuah ruangan ada satu orang yang berbicara dan yang lainnya
mendengarkan, maka suara itu akan terdengar dengan jelas. Namun, jika masing –
masing berbicara dengan suara yang sangat keras, maka bahkan pembicarapun tidak
akan mendengar suaranya sendiri. Demikian pula dengan akal, jika kita
membiarkan hawa nafsu menguasai kita, maka teriakan akal tidak akan terdengar,
namun jika kita yang mengendalikan nafsu di bawah komando akal, maka akan
terlihat jelas realitas itu.
Contoh lainnya,
seseorang yang sudah memutuskan tidak akan makan cabe, karena dia tahu bahwa
dia pasti sakit perut setelahnya, namun syahwatnya juga berteriak untuk
mencicipinya karena cabenya terlihat enak dan beda dari biasanya. Jika akalnya yang lebih kuat, maka dia tidak
akan makan cabe, namun jika syahwatnya yang lebih kuat, maka dia akan berkata
“saya akan mencicipinya kali ini, adapun masalah sakit, itu urusan belakang”.
Jadi, jika hawa nafsu yang seperti ini ada pada manusia, maka jelas dia akan
melemahkan dan membinasakan pengaruh akalnya. Imam Ja’far Shadiq berkata: “hawa nafsu adalah musuh akal manusia.”
Ali bin Abi Thalib
berkata: “kekaguman seseorang terhadap
dirinya adalah salah satu penghasut akalnya.” (Nahj Al – Balaghah,
hikmat 212). Rasulullah SAW berkata: “sekeras
– kerasnya musuhmu adalah hawa nafsumu yang terletak diantara kedua pinggulmu.”
(Bihar Al – Anwar, jilid 70 halaman 64).
Hawa nafsu menjadi musuh
besar manusia karena hawa nafsu adalah musuh akal, sedangkan akal adalah
sahabat manusia. Rasulullah SAW bersabda: “sahabat
sesungguhnya bagi setiap orang adalah akalnya”, seseorang dapat membela
diri dari musuh dengan menggunakan akalnya, akan tetapi jika ada musuh yang
mampu mencuri akalnya, maka musuh itu lebih berbahaya dari segalanya.
Dari sinilah dapat
dijelaskan pengaruh takwa pada penguatan akal dan bertambahnya ketajaman
penglihatan. Takwa adalah musuh bagi hawa nafsu, dan hawa nafsu adalah musuh
dari akal. Kekuatan takwa datang untuk mematahkan dan menundukkan hawa nafsu
yang merupakan musuh dari akal. Takwa tidak akan membiarkan hawa nafsu
menghancurkan pengaruh akal, menaburkan debu di hadapannya, dan menciptakan parasit
baginya. (Ceramah – ceramah seputar
persoalan penting agama dan kehidupan, halaman 48).
Manusia adalah makhluk
peragu, dia meragukan banyak hal, namun dia tidak akan ragu bahwa marah,
syahwat, tamak, iri, keras kepala, sombong terhadap diri, dan lain – lain dapat
membuatnya buta dan tuli dalam hidupnya. Kebiasaan yang terdapat dalam diri
manusia adalah tidak bisa melihat kekurangan yang dimilikinya namun sangat
mudah melihat kekurangan orang lain.
Jika kita dapat
menundukkan nafsu amarah kita dengan kekuatan takwa, maka pada saat itu kita
akan dapat melihat bahwa betapa kita dapat mengenal dengan baik jalan
kebahagiaan, betapa kita dapat melihat dan memahami dengan baik, dan betapa
akal kita memberikan ilham dengan baik kepada kita. Pada saat itu, kita akan
memahami bahwa masalah – masalah ini tidak begitu sulit dan tidak begitu
memerlukan argumentasi. Sangat terang dan jelas bagi kita, hanya saja debu dan
parasit tidak membiarkan kita dapat mendengar suara akal kita.
Ali bin Abi Thalib
berkata: “dia menghidupkan akalnya,
mematikan nafsunya, sehingga tampak pada badannya dimana tulangnya menjadi
mengecil, dan kekasaran dirinya berubah menjadi kelembutan. Pada saat itulah
kilat cahaya besar menyambar, menunjukkan jalan kepadanya, menjadikan dia
melalui jalan tersebut, sehingga dia dapat bergerak dari pintu ke pintu
berikutnya, dan akhirnya sampai ke pintu keselamatan mutlak.” (Nahj Al –
Balaghah, kotbah 218).
Allah SWT berfirman
dalam Q.S. Al – Maidah ayat 16, yang artinya: “dengan kitab itulah Allah menunjuki orang – orang yang mengikuti
keridhoan – Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang – orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benderang dengan seizin – Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
b.
Penyelesaian
kesulitan manusia
Sebelum kita menjelaskan
pengaruh takwa dalam penyelesaian kesulitan manusia, terlebih dahulu kita akan
menjelaskan dua macam bentuk kesulitan. Pertama,
kesulitan yang keinginan manusia sama sekali tidak ikut campur di dalamnya,
seperti angin topan, kecelakaan pesawat, dan lain – lain. Kedua, kesulitan yang keinginan manusia ikut campur di dalamnya,
maksudnya kesulitan kesulitan yang
bersifat akhlak dan sosial.
Jadi disini ada dua
masalah, yaitu pengaruh takwa terhadap kesulitan bentuk pertama dan pengaruh
takwa terhadap kesulitan bentuk kedua. Kesulitan bentuk pertama jarang terjadi,
maka yang akan kita bahas dalam kesempatan kali ini adalah pengaruh takwa
terhadap kesulitan bentuk kedua. Karena, pokok berbagai musibah dan kesulitan
yang datang menghampiri manusia, yang membuat kehidupannya menjadi sulit dan
merampas kebahagiaannnya adalah musibah – musibah yang bersifat akhlak dan
sosial.
Kebanyakan musibah yang
kita alami bukan datang dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri,
itulah kenapa senjata takwa sangat berpengaruh dalam menjauhkan manusia dari
berbagai fitnah. Dan kalaupun manusia telah jatuh kepada fitnah dan musibah,
maka takwa akan menyelamatkannya. Allah SWT berfirman dalam surah Al – A’raf
ayat 201, yang artinya: “Sesungguhnya
orang – orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was – was dari setan, mereka
ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan –
kesalahannya.”
Dengan dalil inilah
takwa mempunyai pengaruhnya yang pertama, yaitu berupa ketajaman penglihatan,
dan juga pengaruhnya yang kedua, yaitu keselamatan dari berbagai kecelakaan dan
musibah. Kesulitan – kesulitan ditemukan di dalam kegelapan, dan kegelapan adalah
debu dosa dan hawa nafsu. Ketika cahaya takwa ditemukan maka jalan dan jurang
dapat dibedakan, dan manusia akan lebih sedikit ditimpa kesulitan. Kalaupun
manusia ditimpa kesulitan, maka dengan cahaya takwa dia dapat lebih mudah
menemukan jalan keluar. (Ceramah –
ceramah seputar persoalan penting agama dan kehidupan, halaman 56).
Takwa begitu banyak
menyelamatkan manusia dari berbagai musibah dan kesengsaraan, lalu
mengantarkannya kepada puncak kemuliaan. Allah SWT berfirman dalam surah Yusuf
ayat 90 yang artinya: “sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan
bersabar, maka sesungguhnya Allah tiada menyia – nyiakan pahala orang – orang
yang berbuat baik.”
D.
Analisis
Pada kesempatan ini,
penulis mencoba menganalisis hubungan antara takwa dengan keadilan. Dengan
upaya – upaya lahiriah, manusia berusaha menjaga ketakwaannya hingga akhirnya
dia mencapai ketakwaan rohaniah. Ketakwaan yang telah sampai pada tingkat
rohani adalah ketakwaan yang kuat yang dapat menjaga spiritual dan akhlak
manusia. Takwa secara spiritual adalah sahabat manusia karena hanya takwa yang
dapat menjaga manusia dari liarnya hawa nafsu. Dengan ketakwaan, manusia tidak
akan berpikir atau berbuat yang berlebihan.
Secara spiritual, takwa
adalah jalan menuju Tuhan. Orang yang bertakwa akan senantiasa menjaga dirinya
dari hal – hal yang akan mengotori jiwanya. Sehingga takwa sangat erat
kaitannya dengan kesucian diri. Lalu apa hubungannya dengan keadilan?
Keadilan adalah
pandangan dunia yang harus diberikan dan diterima oleh semua orang. Keadilan
adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Faktanya adalah, berbuat adil itu
sangat sulit karena bukan hanya berkaitan dengan diri kita namun juga orang
lain. Bukan hanya berkaitan dengan pemberi, tapi juga penerima dan seluruh
semesta. Lalu bagaimana kita mampu meletakkan keadilan itu tanpa ketajaman
penglihatan bathin? Mata indrawi kita bisa tertipu, akal nazhari kita bisa salah. Hanya hikmah ‘amali/ akal ‘amali yang
mampu menuntun kita pada keadilan.
Keadilan itu sendiri
bukanlah hal yang menakutkan. Orang yang takut pada keadilah, pada hakikatnya
takut pada dirinya, karena telah melakukan kesalahan – kesalahan di masa lalu
atau dia merasa takut pada masa yang akan datang karena telah melanggar hak –
hak orang lain. (Ceramah Muthahhari halaman
16)
Hal yang perlu
kita tekankan kembali adalah bahwa orang yang beragama belum tentu bertakwa.
Faktanya, ada banyak orang yang beragama tapi tidak menjalankan perintah agama
dan tidak menjauhi larangan agama. Fakta yang kedua adalah bahwa ada banyak orang
yang menjalankan perintah agama yang bersifat individual namun menutup mata
terhadap hal – hal yang bersifat sosial. Hal ini berkaitan dengan takwa jenis
pertama (lemah), dimana dia masih harus menjaga ketakwaannya hingga memilih
menyendiri untuk menghindari diri ketergelinciran.
Takwa dalam
pembahasan ini adalah takwa yang memiliki efek pada sosial, takwa yang bukan
hanya bersifat individual. Takwa jenis kedua (kuat) adalah takwa yang hidup
dalam masyarakat dengan segala permasalahan dan godaan – godaannya. Ketakwaan
rohani yang bukan hanya dapat menjaga individu, namun juga dapat menjaga
sosial.
Sahabat
manusia adalah akalnya
Musuh
akal adalah hawa nafsu
Musuh
nafsu adalah takwa
Secara
sepintas memang tidak terlihat hubungan langsung antara akal dengan takwa,
namun takwa adalah musuh dari hawa nafsu, dan hawa nafsu adalah musuh akal.
Bukankah seseorang dapat membela diri dari musuh dengan menggunakan
akalnya, akan tetapi jika ada musuh yang mampu mencuri akalnya, maka musuh itu
lebih berbahaya dari segalanya? Disinilah peran takwa dalam
menjaga manusia dari tunduknya akal pada kehendak nafsu.
Dengan
ketakwaan yang dimiliki, seseorang dapat menjaga dirinya dari penguasaan hawa
nafsu sehingga akal dapat bekerja dengan optimal. Kekuatan akal akan melahirkan
ketajaman penglihatan bathin. Ketakwaan rohani berkaitan erat dengan sosial,
dimana dengan ketajaman penglihatan bathin dapat menjadi furqan (pembeda). Dengan ketajaman penglihatan bathin, manusia
dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah sehingga dia dapat
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Disinilah letak disposesi antara ketakwaan
dan keadilan.
Penulis perlu
memperjelas bahwa keadilan yang penulis bahas di atas adalah keadilan sebagai
tujuan takwa. Keadilan yang diletakkan oleh orang – orang yang memiliki
kesucian dan ketakwaan. Mengapa demikian? Karena keadilan itu adalah pandangan
dunia yang meliputi segala hal, maksudnya selain sebagai tujuan, keadilan juga
merupakan syarat takwa. Orang tidak akan mampu mencapai ketakwaan jika dia
tidak berlaku adil. Keadilan sebagai syarat takwa disini adalah keadilan yang
bisa diukur secara hukum, keadilan yang bersifat material.
Inilah kenapa
keadilan dan takwa itu dari sudut pandang tertentu tidak memiliki kaitan
langsung, tapi dari sudut pandang yang lain memiliki kaitan yang erat. Dari
sudut pandang tertentu takwa adalah syarat keadilan dan dari sudut pandang
tertentu keadilan adalah syarat takwa. Hubungan antara takwa dan keadilan
bukanlah seperti hubungan sebuah benda dengan hiasannya, dimana yang satu
adalah yang utama dan yang lainnya adalah hiasan atau tambahan.
Takwa bukanlah
sesuatu yang stagnan, sehingga kita harus menjaganya secara aktif, jika tidak,
maka bisa saja kita tergelincir setelah sampai kepada ketakwaan itu. Keadilan
adalah salah satu bentuk penjagaan itu, dimana keadilanlah yang akan
mengantarkan manusia pada derajat takwa yang lebih tinggi.
E.
Kesimpulan
Banyak orang
yang memiliki kecerdasan dalam ilmu – ilmu fisika, matematika, filsafat, dan
lain – lain namun dia tidak memiliki kemampuan dalam membedakan yang benar dan
yang salah, dia tidak memiliki kemampuan dalam meletakkan sesuatu pada
tempatnya. Itu bukan karena mereka pura – pura cerdas, namun karena kecerdasan
yang dimilikinya hanya sebatas kecerdasan teoritis/ akal nazhari.
Dalam fenomena
yang lain, kita melihat ada orang yang tidak terlalu memiliki kemampuan dalam
bidang ilmu – ilmu sains dan lain – lain, namun ternyata memiliki ketajaman
penglihatan bathin yang luar biasa.
Itu karena kecerdasan ‘amali bukan
hanya berkaitan dengan kemampuan logika dan argumentasi tapi berkaitan dengan
kesucian diri dan ketakwaan.
Tentunya yang
kita inginkan adalah bagaimana menjadi intelektual yang bukan hanya cerdas
secara teoritis namun juga cerdas secara praktis. Kita mendambakan diri kita
mampu memaksimalkan dua kekuatan akal yang ada pada diri kita yaitu kekuatan nazhari dan kekuatan ‘amali.
Kecerdasan ‘amali
tidak pernah terpisah dengan ketakwaan karena hanya takwa yang mampu menjaga
keseimbangan akal. Dengan kecerdasan dan ketakwaan diharapkan terbangun
keadilan sosial bagi seluruh umat manusia.
Keadilan adalah
merupakan pandangan dunia, dimana ia meliputi segala hal. Keadilan merupakan
syarat sekaligus tujuan dari takwa. Keadilan bukan hanya kebutuhan manusia,
namun juga kebutuhan seluruh semesta. Orang yang mampu berlaku adil akan
menjadi “rahmatan lil ‘aalamin”.
Wallahu
‘Alam bi Sawab
Resopa
Temmangingi Namalomo Nalettei Pammase Dewata
Wassalamu
alaikum warahmatullaahi wabarakatuh
Komentar
Posting Komentar