Pasca Postmodernisme: Feminitas Sebagai Alternative Solusi & Titik Temu Antara Islam & Barat

Bismillahirrahmanirrahim..
Assalamu Alaika ya Rasulullah..
Assalamu Alaika ya Sayyidah Nisa’I Alamin…

Postmodernisme yang lahir sejak awal abad ke – 19 adalah merupakan kritik terhadap modernisme yang dianggap telah gagal menjawab semua kebutuhan manusia. Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia. Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi supernatural. Sedangkan dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial, kebenaran disamakan dengan kekuatan dan kekuasaan, identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteristik fragmentasi (terpecah – pecah menjadi lebih kecil), tidak menentu (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Adapun beberapa tokohnya beserta pandangannya tentang postmodernisme adalah sebagai berikut:

Derrida, Foucault, dan Baudrillard mengatakan bahwa postmodernisme adalah “bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori – teori.” David Graffin mengatakan bahwa postmodernisme adalah “Koreksi beberapa aspek dari modernisme.” Giddens mengatakan bahwa postmodernisme adalah “bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak.” Habermas mengatakan bahwa postmodernisme adalah “satu tahap dari modernisme yang belum selesai.”

Berdasarkan pandangan beberapa tokoh, kita dapat mengatakan bahwa lahirnya postmodernisme tidak terlepas dari modernisme itu sendiri. Para tokohnya, walaupun memberikan banyak kritik terhadap modernisme, namun mereka tetap menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk penyempurnaan terhadap modernisme itu sendiri. Beberapa asas postmodernisme diantaranya:

1.      Penafian terhadap keuniversalan suatu pemikiran
2.      Penekanan akan terjadinya pergolakan individu dan social secara terus menerus
3.      Pengingkaran atas semua jenis ideology
4.      Pengingkaran atas setiap eksistensi objektif dan kritikan tajam atas setiap epistemology
5.      Pengingkaran akan penggunaan metode permanen dalam menilai dan berargumen
6.      Tidak mau terkungkung dalam satu bentuk pondasi pemikiran filsafat tertentu

Karena postmodernisme adalah merupakan antithesis dari modernism, maka hampir semua istilah yang diajukan oleh postmodernisme adalah antonimasi terma modernism. Beberapa istilah yang dimaksud adalah desentralisasi, pertarungan etnis, dekonstruksi, sub-kultur, nihilisme, budaya rendah, anarki, pasca industry, paradigma, kekuatan bersama (civil society), sekte – sekte, delegitimasi, dekonsensus, liberalisme, dan diskontinuitas.

Modernisme, dengan rasionalitasnya dianggap mengabaikan hal terpenting dalam kehidupan manusia, yaitu rasa. Rasionalitas dianggap menghilangkan spiritualitas manusia sehingga semakin manusia mengembangkan pemikirannya, semakin mereka merasakan kekeringan dalam jiwa mereka. Postmodernisme memberikan perhatian lebih terhadap kebutuhan jiwa manusia, kebutuhan akan rasa, yang mereka anggap dapat tersalurkan salah satunya melalui seni dan bahasa.

Persoalannya kemudian, rasa dan jiwa manusia sangat subjektif. Lalu bagaimana mereka hidup dalam dunia yang majemuk ini? Apa yang menjadi tolak ukur kebenaran jika mereka bahkan mengabaikan rasionalitas?

Para pemikir postmodernisme tidak mau terkungkung dalam satu bentuk pondasi pemikiran filsafat tertentu, lalu apa landasan dari pergolakan – pergolakan yang menurutnya tak dapat dihindari? Para pemikir postmodernisme menafikan keuniversalan pemikiran, pengingkari semua jenis ideology, mengingkari eksistensi objektif dan epistemology, mengingkari metode permanen dalam menilai dan berargumen, lalu untuk apa mereka melakukan pergolakan? Apa yang ingin mereka capai?

Pemikiran postmodernisme mempengaruhi banyak kehidupan, termasuk bidang filsafat, pengetahuan, dan sosiologi. Postmodernisme menjadi kritik kebudayaan atas modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, dan apa yang dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai.

C.S.Lewis berkata: “Kebaikanku adalah kebaikanku, kebaikanmu adalah kebaikanmu”. Dari kalimat tersebut dapat kita pahami bahwa dalam pandangan postmodernisme, tak ada kebenaran yang absolute, semuanya relative. Nietzche mengatakan bahwa manusia tidak dapat menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk menangkap objek itu hanyalah sekedar interpretasi. Baginya, kebenaran adalah suatu kekeliruan yang berguna untuk mempertahankan arus hidup.

Jaques Derrida menyatakan bahwa struktur yang obejektif tidak ada dan arti hanya dapat dipahami lewat situasi. Dia juga mengatakan bahwa sebuah tanda akan memberi arti yang mungkin berbeda dari yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Dalam hal ini, tidak ada kepastian klaim yang objektif. Derrida menolak logosentrisme atau makna final dari teks. Menurutnya, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), dimana apa yang dianggap sebagai petanda absolut, sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak dibelakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna absolute mustahil dilakukan. Setelah ‘kebenaran’ ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak ‘kebenaran’ lain di depannya, begitu seterusnya.

Derrida melalui teori dekonstruksinya telah mengantarkan kita pada sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotic of chaos. Dekonstruksi menolak kemapanan, objektivitas tunggal, dan kestabilan makna. Fenomena ini memunculkan berbagai macam persoalan tentang peran agama. Ketika manusia tidak lagi percaya terhadap rasionalitas yang dianggap telah gagal melanjutkan proyek pencerahannya, maka dunia tidak lagi diatur oleh kebenaran tunggal dan system mekanis. Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak, termasuk agama. Pada saat itulah manusia berada dalam kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian jatuh pada fundamentalisme dan yang lain ke arah sekularisme. Untuk itu, persoalan dasar dalam dunia postmodern adalah hermeneutika dan komunikasi. Bahasa menjadi medan hidup yang terus menerus dikembangakan sebagai bagian dari proses hermeneutika dan komunikasi. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup agama atau narasi – narasi besar lainnya, namun juga terjadi dalam setiap bidang kehidupan.

Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menolak semua pandangan dunia. Tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam perspektif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing – masing. Kritik postmodern terhadap modern bukanlah kritik ilmiah dan teoritik,melainkan lebih bersifat emosional. Ia tak membawa konsep yang jelas, hanya mengkritik konsep lama dan tak memberi pembaharuan. Derrida mencoba menawarkan dekonstruksi sebagai alternative problem modernitas yang telah dianggap gagal, sasaran utamanya adalah membongkar sifat totaliter dari system. Menurutnya, metafisika dan epistemology barat selama ini telah didominasi oleh logosentrisme dan metafisikankehadiran, karena itu harus di dekonstruksi.

Serangan dekonstruksi telah membebaskan dua konsep tirani yang mendominasi filsafat, yaitu totalitas dan esensi, sehingga menghasilkan kebenaran particular dan relative. Faktanya adalah, Derrida akan terjebak pada ambiguitas yang mengarah pada nihilisme.

Pengaruh pemikiran Derrida sampai pada masyarakat dan pemuda kita hari ini dan disini. Mengapa saya katakan demikian? Karena masyarakat dan pemuda yang kita saksikan banyak yang bermental putus asa. Mereka tahu bahwa ketidakadilan sedang mengungkungnya tapi mereka tidak ingin melakukan apa – apa. Mereka terlanjur terjebak pada pemikiran bahwa kita dikuasai oleh system yang sangat besar dan kita tidak mampu keluar darinya kecuali dengan membongkar system yang ada. Pertanyaannya adalah system apa yang mereka tawarkan? Dan bagaimana caranya mengaktualkan system tersebut? Mereka tidak mampu memberi solusi apapun karena mereka menolak semua system. Akhirnya mereka juga masuk ke dalam system yang mereka tolak dan tak mampu melakukan apa – apa. Itu karena mental masyarakat dan pemuda memang sudah direkayasa, mereka ditawarkan wacana – wacana yang sangat absurd dan dibuat sibuk pada angan – angan hingga akhirnya lupa pada realitas yang ada. Mereka lupa bahwa ditengah system yang besar ini, ada masyarakat kecil yang berhasil membangun ekonomi mereka dari level terkecil dan berhasil melakukan perubahan di masyarakatnya. Ini bukan wacana tapi fakta yang ada. Bukan hanya satu atau dua fakta, tapi puluhan bahkan mungkin ratusan fakta.

Di dunia mahasiswa, hampir setiap hari kita melihat dan mendengar demo dimana – mana. Mereka menjadi manusia – manusia yang ahli dalam mengkritik. Sekeras apapun usaha para pemimpin atau tokoh untuk memperbaiki masyarakat, selalu saja ada kesalahan yang mereka temukan. Ini tidaklah salah karena memang seharusnya mahasiswa menjadi kontrol terhadap kebijakan pemerintah, namun masalahnya adalah ketika kita bertanya tentang solusi. Apa yang bisa mereka katakan? Mereka tidak punya solusi.

Gerakan feminisme yang absurd juga merupakan bagian dari postmodernisme. Mereka berteriak memperjuangkan kesetaraan gender, namun mereka tidak punya tujuan yang hakiki. Mereka hanya ingin seperti laki – laki. Ketika laki – laki bekerja di kantor, mereka juga ingin ke kantor, ketika laki – laki terjun di bidang politik, mereka juga ingin ambil bagian, ketika laki – laki keluar malam, mereka juga ingin diberi kebebasan yang seperti itu. Mereka meneriakkan kesetaraan gender, mereka berjalan terlalu jauh, tapi melupakan dirinya sendiri. Mereka asing terhadap diri mereka sendiri.

Postmodernisme yang awalnya bertujuan mengisi kekosongan pada jiwa manusia, ternyata tak mampu melakukan apa – apa. Mereka justru menciptakan masalah yang sangat besar karena hilangnya standar nilai, hilangnya rasionalitas yang merupakan salah satu identitas manusia.

Persoalan yang dihadapi antara islam dan barat sebenarnya sama, mereka mencari jawaban dari kehampaan yang mereka rasakan yang bahkan tidak mampu dijawab baik dengan rasionalitas murni, maupun dengan seni dan bahasa. Kehampaan itu adalah kehampaan spiritual yang telah jauh mereka tinggalkan. Feminitas adalah alternative solusi yang penulis tawarkan sebagai hipotesa dalam tulisan ini.

Mengapa feminitas?

Karena kita telah melihat banyak bukti keberhasilan feminine dalam mengawal hal – hal besar. Dalam islam, kita mengenal Nabi Musa yang telah diutus untuk membebaskan kaum Yahudi dari berbudakan. Keberhasilan Nabi Musa dalam misinya tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan di dalamnya.

Kita semua tahu bahwa ada tiga perempuan yang berperan penting dalam kehidupan Nabi Musa, yaitu ibu yang melahirkannya yang memiliki hati yang sangat kuat sehingga mampu merelakan anaknya dialirkan di sungai, saudara perempuan Nabi Musa yang dengan keberanian penuh, mengikuti kemana aliran sungai membawa adiknya, dan terakhir Asiah (ibu angkat Nabi Musa dan juga merupakan isteri dari Fir’aun/orang yang memerintahkan semua bayi laki – laki dibunuh) yang merawat Nabi Musa hingga dewasa. Ketiga perempuan tersebut bukan tanpa resiko yang sangat besar ketika memutuskan untuk melakukannya, namun dengan keberanian dan kekuatan yang besar, mereka mengemban tugas tersebut.

Nabi Isa, risalah yang dibawanya juga dijaga oleh perempuan. Perempuan pertama adalah neneknya (Ibu dari Maryam) yang telah bernazar untuk menitipkan anaknya kepada Tuhan. Melepas anak yang disayangi bukanlah hal mudah, namun dengan penuh kekuatan dan keberanian, dia melepas anak perempuannya berada dalam pengawasan Tuhan (dititipkan di baitul maqdis). Perempuan yang kedua adalah Maryam sendiri yang telah dikenal dengan kesuciannya, harus menerima ujian yang sangat besar dalam hidupnya karena hamil tanpa memiliki suami, tidak seperti perempuan pada umumnya. Tidak hanya sampai disitu, dia juga harus membesarkan putranya sendiri (tanpa suami). Semua itu bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan kekuatan yang luar biasa untuk dapat melakukannya.

Nabi Muhammad, di awal kenabiannya (turunnya wahyu pertama), beliau menggigil dan meminta diselimuti oleh isterinya, Khadijah. Bersama Khadijah, beliau mendapatkan kekuatan dan keberaniannya untuk menyampaikan risalah kenabian walau ditengah tekanan – tekanan yang bahkan mengancam nyawanya. Khadijah setia mendampingi Nabi Muhammad hingga nafas terakhirnya. Kematian Khadijah membuat Nabi sangat terpukul, namun lagi –lagi perempuanlah yang menjaga Rasulullah dalam masa – masa sulitnya itu. Perempuan itu adalah Fathimah Az Zahra (putri Rasulullah saw), beliau juga disebut sebagai ibu dari ayahnya.

Masih banyak lagi kisah tentang perempuan yang berdiri tegak ditengah tekanan – tekanan yang dialaminya, perempuan yang diberi tanggung jawab menjaga para nabi dan wali Allah yang tidak bisa saya ceritakan semua dalam pembahasan kali ini. Salah satunya adalah Zaenab bin Ali yang memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga agama ini hingga islam masih dapat kita kenal hari ini.

Perempuan – perempuan kita, hanya perlu diberitahu tentang siapa dirinya, seindah dan seagung apa penciptaannya, apa peranannya, dan sebesar apa kekuatannya. Ini bukan hanya tugas laki – laki atau perempuan saja, namun tugas bersama. Perempuan harus mencari jati dirinya dan laki – laki harus mampu menjaga dan mendukung hal tersebut.

Mengapa feminine?

Analisis lainnya dalam kosmologi adalah bahwa feminine adalah kualitas jiwa yang bukan hanya dimiliki oleh jenis kelamin perempuan saja namun juga laki – laki. Spiritualitas dan penghambaan adalah feminine. Sehingga dapat disimpulkan bahwa feminine adalah alternative solusi dan titik temu antara islam dan barat pasca postmodernisme.

Wallahu a’lam bi sawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Wujud Substantif dan Kopulatif

MASJID JERRAE SEBAGAI SALAH SATU MASJID TERTUA DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

Karena Aku Berharap